Benarkah Nama "Australia" Berasal Dari Orang Ambon???
Percaya ndak kalau benua Australia itu orang ambon yang menamakannya ?
Dahulu kala ada seorang pelaut dari Inggris yang diperintahkan oleh Raja Inggris untuk pergi mencari daerah2 baru di dunia untuk dijadikan koloni Inggris. Dalam pelayarannya tampaknya angin membawa kapalnya ke arah daratan yang sekarang dikenal sebagai Australia. Namun sebelum mencapai benua baru tersebut kapalnya terpaksa berhenti di daerah kepulauan yang sekarang dikenal sebagai kepulauan Maluku untuk menambah perbekalan, air tawar dlsb. Mendaratlah sang pelaut tersebut di Ambon dan sambil menunggu kapalnya siap berangkat kembali, sang pelaut yang memang berpostur tinggi itu memakai teropongnya melihat-lihat ke arah daratan nun jauh disana yang disebut australia itu (anggap saja dari ambon, australia bisa dilihat, hehehe).
Lalu sang pelaut bertanya pada 'tour guide' nya, seorang ambon penduduk lokal tentu saja, apakah dia tahu apa nama daratan yang dilihatnya melalui teropong tsb. : "What's the name of that big island over there ?" Tentu saja kawan kita orang ambon ini yang secara fisik kalah tinggi dari si bule tidak dapat melihat apa yang dimaksud si bule dan lalu menjawab si bule dalam bahasa lokal "O se tara liha!" (o, saya tidak lihat!). Si bule yang merasa kurang jelas mendengarnya bertanya lagi "Sorry, what did you say ?" Si orang ambon pun menjawab lagi " O se tara lia" Si bule: "Australia you said ? are you sure ?" Si ambon : "yes sir, yes sir .... se tara lia" Lalu si bule pun menyahut "Okay, now i understand that big continent over there is named Australia". Rupanya kalimat "o se tara lia" nya orang ambon tersebut terdengar sebagai "australia" di kuping sibule inggris itu. Sejak saat itulah benua di selatan indonesia tsb. dinamai "AUSTRALIA" oleh bule2 inggris sebagai benua baru yang kemudian kita tahu inggris menjadikannya sebagai tempat pembuangan para narapidana untuk menambang emas.
semoga dongeng ini bisa diambil hikmahnya,
Sumber : http://newsgroups.derkeiler.com/Archive/Soc/soc.culture.indonesia/2005-08/msg00659.html